Pantai Ngobaran, Kabupaten Gunung Kidul




A. Selayang Pandang

Pantai Ngobaran adalah salah satu obyek wisata pantai di daerah Gunungkidul yang memendam sejuta pesona alam dan budaya. Perpaduan kedua pesona yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pantai ini jarang ditemukan di pantai lain di daerah tersebut. Pantai yang terletak sekitar dua kilometer sebelah barat Pantai Ngrenehan ini tidak hanya menyuguhkan panorama alam yang menakjubkan seperti hamparan pasir putih, gulungan ombak, barisan batu karang, rumput laut (alga), dan deretan pohon pandan laut, tetapi juga menyuguhkan pesona budaya yang penuh nuansa mistis.
Pantai Ngobaran dikenal sebagai tempat ritual berbagai penganut agama atau kepercayaan. Di kawasan ini terdapat tempat-tempat peribadatan seperti masjid yang berdiri berdampingan dengan pura menghadap ke arah pantai selatan, serta tempat ibadah berbagai aliran kepercayaan seperti Kejawen dan Kejawan. Selain itu, di kawasan pantai ini juga terdapat beberapa arca dan stupa yang sering dijadikan tempat upacara keagamaan. Di puncak bukit karang yang terletak di sekitar Pantai Ngobaran terdapat sebuah kotak batu yang ditumbuhi tanaman kering. Kotak batu yang berada di depan sebuah rumah Joglo ini dikelilingi oleh pagar kayu berwarna abu-abu. Konon, tepat di mana tanaman kering itu tumbuh merupakan tempat Prabu Brawijaya V membakar diri.


Menurut cerita masyarakat setempat, Prabu Brawijaya V atau biasa dikenal dengan Bhre Kertabhumi yang merupakan keturunan terakhir Kerajaan Majapahit (1464-1478 M) ini melarikan diri dari istana bersama kedua istrinya, Bondang Surati (istri pertama) dan Dewi Lowati (istri kedua), karena enggan diislamkan oleh putranya sendiri yang bernama Raden Fatah Raja I Demak. Mereka berkelana malang-melintang ke daerah-daerah pedalaman dan pesisir. Ketika tiba di pantai yang kini bernama Ngobaran, mereka menemui jalan buntu. Mereka dihadang oleh laut selatan yang sangat ganas ombaknya sehingga tidak tahu harus berlari ke mana lagi. Akhirnya, Brawijaya V memutuskan untuk membakar diri. Sebelum menceburkan diri ke dalam api yang telah disiapkan, ia bertanya kepada kedua istrinya. "Wahai, istriku! Siapa di antara kalian yang paling besar cintanya kepadaku?" Dewi Lowati menjawab, "Cinta saya kepada Tuan sebesar gunung." Sedangkan Bondang Surati menjawab, "Cinta saya kepada Tuan, sama seperti kuku ireng, setiap selesai dikethok (dipotong) pasti akan tumbuh lagi." Begitulah cinta Bondang Surati kepada suaminya, jika cinta itu hilang, maka cinta itu akan tumbuh lagi.
Setelah mendengar jawaban dari kedua istrinya, Brawijaya V langsung menarik tangan Dewi Lowati lalu bercebur ke dalam api yang membara. Pada saat itulah, keduanya tewas dan hangus terbakar. Prabu Brawijaya V memilih Dewi Lowati bercebur ke dalam api karena cinta istri keduanya itu lebih kecil dibandingkan dengan istri pertamanya. Dari peristiwa membakar diri inilah kawasan pantai ini diberi nama Ngobaran. Ngobaran berasal dari kata kobong atau kobaran, yang berarti terbakar atau membakar diri.

Kebenaran cerita tentang Prabu Brawijaya V membakar diri ini masih diragukan oleh sebagian pihak. Menurut keterangan dari sebagian masyarakat setempat yang diperoleh dari orang-orang tua mereka, Prabu Brawijaya V sebenarnya tidak meninggal di kawasan Pantai Ngobaran. Pada saat peristiwa tersebut terjadi, ada seorang warga yang menyaksikan bahwa yang bercebur ke dalam api bukan Brawijaya V dan istrinya, tetapi anjing peliharaannya. Pendapat ini dibuktikan dengan ditemukannya petilasan (jejak) berupa tulang-tulang sisa kobaran api yang ternyata bukan tulang manusia, melainkan belang yoyang (tulang-tulang anjing).
Cerita versi lain mengatakan bahwa Brawijaya V melakukan moksa (hilang) di puncak Gunung Lawu. Menurut para sejarawan, versi ini sesuai dengan fakta sejarah. Kenyataan memang menunjukkan bahwa Brawijaya V enggan masuk Islam dan tidak mau berperang melawan putranya sendiri sehingga ia meninggalkan istana menuju Blambangan dan kemudian mengasingkan diri ke puncak Gunung Lawu bersama dua orang abdinya Dipa Manggala dan Wangsa Manggala. Di puncak Gunung Lawu itulah Brawijaya moksa dan musnah bersama kedua abdinya. Dengan musnahnya Brawijaya V, maka sirnalah Kerajaan Majapahit. Runtuhnya Majapahit ini dikenal dengan istilah "candrasangkala" atau Sirna Ilang Kertaning Bumi, yang berarti Sirna = 0, Ilang = 0, Kerta = 4, Bumi = 1. Kalimat yang mengandung makna angka (bilangan) ini jika dibaca terbalik menyatakan tahun keruntuhan Kerajaan Majapahit, yaitu tahun 1400 Saka atau 1478 M.


Terlepas dari perbedaan versi cerita di atas, hingga kini sebagian masyarakat setempat tetap meyakini bahwa Brawijaya V pernah meninggalkan jejak di Pantai Ngobaran sehingga kawasan ini menjadi salah satu obyek wisata petilasan atau wisata pantai ritual yang ada di Gunungkidul. Penganut Kejawan yang merupakan aliran kepercayaan peninggalan Prabu Brawijaya V sering melakukan ritual di kawasan ini. Selain itu, penganut agama Hindu juga sering melakukan upacara Galungan setiap bulan purnama dan Upacara Melastri dalam rangkaian upacara Hari Raya Nyepi. Begitu pula penganut kepercayaan Kejawen, setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon mengadakan ritual di kawasan ini.

B. Keistimewaan

Saat memasuki kawasan Pantai Ngobaran, Anda akan disambut oleh suasana mistis yang berpadu dengan suara ombak yang terhempas di tebing-tebing batu karang. Pesona budaya yang pertama kali Anda temui adalah sebuah prasasti yang terletak di antara arca dan stupa. Konon, prasasti itu dibuat oleh masyarakat setempat untuk mengenang peristiwa menghilangnya Prabu Brawijaya V di kawasan itu. Pada prasasti tersebut tertulis sebuah Ikrar Kesatria yang berisi tiga butir, yaitu: AKU BERSUMPAH SETYA DAN PATUH: 1). Menghormati, menjunjung tinggi dan menghormati para leluhur cikal bakal bangsaku sendiri; 2). Menghormati dan menjunjung tinggi ajaran Trimurti ajaran kepercayaan lelulur cikal bakal bangsaku sendiri; 3). Menghormati, menjujung tinggi dan menjaga bumi pertiwi, tanah tumpah darah para leluhur cikal bakal bangsaku sendiri.
Berjalan ke arah selatan prasasti tersebut, Anda akan menemui sebuah bangunan pura yang terletak di ujung bukit batu karang. Di samping pura itu, Anda dapat menyaksikan pemandangan laut lepas yang menakjubkan. Tidak jauh dari pura itu, Anda juga dapat menemui sebuah rumah joglo dan sebuah mushola berukuran kurang lebih 3 x 4 meter yang berlantai pasir. Bangunan mushola ini sangat unik karena arah kiblatnya menghadap ke selatan. Bagi pengunjung yang ingin melaksanakan shalat tidak perlu bingung dengan arah kiblat karena penduduk setempat telah memberi tanda pada dinding mushola tentang arah kiblat yang sebenarnya. Usai melaksanakan shalat, pengunjung pun dapat menyaksikan keindahan Pantai Ngobaran dari tempat imam memimpin shalat karena pada bagian tersebut terbuka lebar.
Setelah puas menikmati suasana mistis, Anda bisa berjalan ke arah barat mengikuti jalan menurun menuju ke pantai. Di sana Anda akan menyaksikan pesona alam Pantai Ngobaran yang dapat membius pandangan Anda. Pantai ini dihiasi oleh hamparan pasir putih dan karang-karang berselimut alga. Jika dilihat secara sekilas, pantai ini bagaikan hamparan permadani hijau. Alga atau dalam bahasa Jawa disebut karangan itu menjadi salah satu sumber penghasilan masyarakat setempat.
Jika berkunjung ke pantai ini pada saat air laut surut, yaitu sekitar pukul 06.00 - 11.00 pagi, Anda akan menjumpai masyarakat pantai tengah mencari karangan untuk dijual kepada tengkulak yang kebanyakan berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Jika ingin membawa pulang rumput laut untuk diolah di rumah, pengunjung dapat memperolehnya dengan harga yang relatif murah. Di kawasan ini tersedia beragam jenis karangan seperti karangan simbar untuk bahan pembuatan kerupuk dengan harga Rp 3000,00-Rp 5.000,00/kg, karangan lumut dengan harga Rp 1.500,00-Rp 2.000,00/kg, dan karangan ager untuk bahan agar-agar dengan harga Rp 1.200,00-Rp 1.500,00/kg.
Jika Anda berkunjung pada sore hari, Anda bisa menyaksikan aktivitas para nelayan di sekitar pantai yang sedang mencari beragam jenis biota laut seperti landak laut, bintang laut, lobster, dan kerang-kerangan. Biota laut tersebut banyak hidup di kolam-kolam mini yang berada di sela-sela batu karang.
Setelah menikmati sejuta pesona budaya dan alam kawasan pantai ini, kunjungan Anda serasa tidak lengkap jika tidak menikmati wisata kulinernya. Salah satu menu khas yang tersedia di warung-warung makan di sepanjang jalan masuk ke kawasan pantai ini adalah Landak Goreng. Menurut penduduk setempat, daging landak cukup kenyal dan rasanya lezat. Cara menyantapnya pun cukup unik, yaitu duri landak laut terlebih dahulu dikepras (dibabat) hingga rata dan kemudian dipecah dengan menggunakan sabit hingga dagingnya terlihat. Setelah itu, daging landak dicongkel. Sajian wisata kuliner khas ini menjadi penutup dari segala sensasi yang ditawarkan oleh Pantai Ngobaran.

C. Lokasi

Pantai Ngobaran berlokasi di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia.

D. Akses

Akses menuju ke pantai ini sama dengan akses menuju ke Pantai Ngrenehan. Pengunjung dapat melewati dua jalur utama yang biasa digunakan oleh penduduk setempat maupun para wisatawan. Jalur pertama adalah Yogyakarta - Lapangan Udara Gading - Pertigaan Gading (ambil arah ke kanan) - Playen - Paliyan - Trowono - Saptosari - Pantai Ngobaran. Jalur kedua adalah Yogyakarta - Kota Wonosari - Paliyan - Trowono - Pantai Ngobaran.
Jika Anda berada di Pantai Parangtritis, maka akan lebih dekat untuk sampai Pantai Ngrobaran. Anda hanya tinggal menaiki jalan menanjak di sisi sebelah timur Pantai Parangtritis menuju ke arah Panggang. Dari Panggang Anda mengambil jalur yang menuju Saptosari dan Pantai Ngobaran.

E. Tiket

Biaya tiket masuk ke kawasan Pantai Ngobaran sebesar Rp 3.000,00. Salah satu keuntungan mengunjungi pantai ini adalah, dengan harga tiket tersebut, pengunjung juga dapat menikmati pesona kawasan Pantai Ngrenehan yang sudah menjadi satu paket dengan Pantai Ngobaran.

F. Akomodasi dan Fasilitas lainnya

Akomodasi dan fasilitas yang ada di Pantai Ngobaran belum begitu lengkap, karena kawasan ini belum terjangkau oleh aliran listrik. Fasilitas seperti losmen dan penginapan belum tersedia sehingga hanya memungkinkan para wisatawan berkunjung ke pantai ini pada siang hari. Namun yang sudah tersedia di antaranya kamar mandi, warung makan, tempat ibadah, dan tempat parkir.
Description: Pantai Ngobaran, Kabupaten Gunung Kidul Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Pantai Ngobaran, Kabupaten Gunung Kidul


Shares News - 04.37
Read More Add your Comment 0 komentar


Candi Gembirowati






Candi Gembirowati atau Situs Gembirowati secara administratif terletak di Dusun Watugajah, Desa Girijati, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta. Bangunan ini diduga oleh masyarakat sekitar sebagai reruntuhan candi, namun sebenarnya adalah sebuah pesanggrahan yang dibangun pada jaman Mataram Islam. Tahun pembuatan dari candi ini tidak dikenal dengan jelas, dan kemungkinan besar candi ini dipakai untuk pemujaan terhadap Nyai Loro Kidul, yaitu ratu pantai selatan Jawa.
Secara astronomis Candi Gembirowati terletak pada 110” 20’ 20,4” BT dan 8” 1’ 3,24” LS, serta berada pada ketinggian 123-130 m dpal yaitu di daerah ujung Karst Bagian Barat (masih bagian dari Gunung Sewu) dekat dengan pesisir selatan dari pantai Parangtritis menuju ke arah kecamatan Panggang.

Penelitian


Penamaan pada bangunan ini sebenarnya lebih cocok ke Situs Gembirowati karena bangunan ini merupakan bangunan peninggalan masa Islam bukan masa Hindu-Buddha.
Situs Gembirowati pernah dikunjungi oleh orang Belanda tahun 1902. F.D.K Bosch menyatakan bahwa arsitektur bangunan, bentuk pilar, dan hiasan yang ada diperkirakan peninggalan ini dibangun sekitar abad ke-16. Pernyataan Bosch tersebut ditulis dalam OV atau Oudheidkundige Verslag (laporan arkeologi Pemerintah Hindia Belanda) pada tahun 1925.
Penelitian selanjutnya diadakan pada tahun 1982 berupa studi pengumpulan data situs dan tahun 1984/1985 melalui studi kelayakan oleh PSPS DIY. Kegiatan studi pengumpulan data disertai pula wawancara dengan sumber-sumber yang diperkirakan mengetahui keberadaan situs tersebut. Kegiatan pengumpulan data dan studi kelayakan dilanjutkan dengan penggalian pemugaran yang dilaksanakan oleh kantor SPSP DIY pada tahun 1991 dan Kantor SPSP DIY bekerjasama dengan jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada pada tahun 1992.

Pemugaran

Dari Hasil Penelitian SPSP DIY tahun 1992, dilakukan pemugaran tempat tersebut sebagai salah satu tempat yang digunakan sebagai pesanggrahan oleh Sultan Hamengkubuwono II, yang memerintah selama 3 periode pada kurun waktu 1792-1828 M. Pembangunan fisik yang dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwono II, hampir semuanya berada di luar kraton berupa pesanggrahan. Rujukan atas keberadaan tempat ini adalah Serat Rerenggan Kraton, yang menyebutkan Pesanggrahan hasil seni bangun karya Sultan Hamengkubuwono II berjumlah 13 buah, namun dari ketiga belas pesanggrahan tersebut, yang masih dilacak keberadaan fisiknya hanya tinggal empat buah, Yaitu Ngarjokusumo, Wonocatur, Purwokusumo, dan Jowinangun.

Cerita rakyat

Situs Gembirowati berdasarkan cerita rakyat setempat merupakan tempat tinggal Jogobiro yang mempunyai saudara bernama Bambang Sumantri. Jogobiro mempunyai keadaan fisik menyerupai raksasa sedangkan Bambang Sumantri mempunyai keadaan fisik sebagai kesatria. Karena Jogobiro iri terhadap keadaan fisik saudaranya, maka terjadilah peperangan di tempat tesebut.
Cerita lainnya adalah Dewi Citrowati yang menikah dengan kakak kandungnya karena mereka berpisah sejak kecil. Sang kakak yang bernama Sri Dipo Kusumo adalah seorang pertapa yang terpesona saat melihat kecantikan Dewi Citrowati. Hubungan perkawinan satu darah tersebut ternyata diketahui oleh orangtua mereka, sehingga mereka diasingkan di daerah pesisir selatan Pulau Jawa. Putri yang dibuang oleh ayahnya ini kemudian mendirikan pesanggrahan di Gembirowati. Anak dari hasil perkawinan tersebut setelah dewasa mendirikan istana dan menjadi penguasa di bukit Boko.

Deskripsi bangunan
Bangunan pesanggrahan Gembirowati ini berbentuk teras yang membujur ke arah barat – timur dengan penyimpangan ±20˚ dan menghadap kearah selatan. Arah hadap bangunan yang menuju kearah selatan serta keberadaan situs pada tempat yang cukup tinggi ini memberikan pandangan yang cukup leluasa kearah Lautan Indonesia.
Sisa bangunan teras pertama yang berada di bawah berukuran panjang 22,70 m, lebar 0,5 m dan tinggi 1,04 m, sedangkan sisa bangunan kedua yang terletak diatas teras pertama berukuran panjang 16,82 m, lebar 0,5 m dan tinggi 1,20 m. Kedua teras yang terpisah pada jarak 2,10 m dihubungkan oleh tangga berujungkan alokade dan hiasan palang yunani.
Kedua teras mempunyai bagian depan yang berbingkai – bingkai, berpelipit, berpilar, serta mempunyai hiasan yang berbeda. Unsur-unsur hiasan pada situs Gembirowati mempunyai kemiripan dengan unsur hiasan pada bangunan – bangunan masa Klasik dan masa Islam.

Gua dan sendang

Di dekat situs ini juga terdapat Gua Cerme yang indah karena mempunyai bagian batu stalagtit dan stalagmit, sehingga banyak dikunjungi oleh wisatawan asing. Gua yang berada di desa Ploso, kalurahan Giritirto ini, memiliki sungai bawah tanah di dalam bagian dalam gua sepanjang 1,5 km. Selain Gua Cerme, tidak jauh dari sini juga terdapat gua Suracala, yang banyak dikaitkan dengan sejarah dan legenda Sunan Amangkurat III.
Obyek wisata lain yang juga dekat dengan situs ini adalah Sendang Beji, yang menurut legenda warga sekitar sebagai tempat bertemunya Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan.

 

Berbagai Sumber



Description: Candi Gembirowati Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Candi Gembirowati


Shares News - 18.51
Read More Add your Comment 0 komentar


Candi Ijo, Yogyakarta, Indonesia




Candi Ijo


Candi Ijo adalah sebuah candi yang letaknya paling tinggi di antara candi-candi yang lain di Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi Ijo, berlokasi di Bukit Ijo, Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarata. Untuk masuk ke Candi Ijo tidaklah di pungut biaya, cukup mengisi daftar buku tamu.
Candi Ijo dibangun pada abad ke-9 di sebuah bukit dengan ketinggian 410 meter.

Bukan hanya candi yang bisa di nikmati namun pemandangan alam di bawahnya, yang berupa teras-teras seperti di daerah pertanian yang memiliki kemiringan cukup curam.
Kompleks candi terdiri dari 17 struktur bangunan yang terbagi dalam 11 teras . Teras pertama hingga teras ke sebelas berupa teras berundak yang membujur dari arah barat ke timur.
Bangunan pada teras ke-11 adalah pagar keliling, delapan bah lingga patok, empat bangunan yaitu candi utama dan tiga candi perwara. Ragam bentuk seni rupa dijumpai sejak masuk ke bangunan ini, candi Ijo tergoling candi Hindu. Hal ini bisa di lihat dengan adanya kala-makara yang motif kepala ganda di atas pintu masuk. Motif kepala ganda dan atributnya juga bisa dijumpai pada candi Budda.
Ada pula arca yang menggambarkan sosok perempuan dan laki-laki, sosok tersebut dapat mempunyai beberapa makna, pertama sebagai cara untuk mengusur roh jahat atau dapat juga bermakna sebagi lambang bersatunya Dewa Siwa dan Dewi Uma yang berarti sebagi awal terciptanya alam semesta.
Terdapat tempat api pengorbanan adalah merupakan cermin masyarakat Hindu yang memuja Brahma, ada tiga candi perwara yang menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yaitu: Brahma, Siwa, dan Wisnu.
Salah satu karya yang menyimpan misteri adalah 2 buah prasasti yang terletak di bangunan candi pada teras ke-9. Salah satu prasasti tersebut di beri kode, bertuliskan Guywan yang berarti Pertapaan. Prasasti yang lain terbuat dari batu berukuran dengan tinggi 14 cm dan tebal 9 cm, memuat mantra-mantra yang di perkirakan berupa kutukan.
Mengunjungi candi Ijo, kamu akan menjumpai pemandangan yang indah, bila menghadap ke arah barat dan memandang ke bawah kamu bisa melihat pesawat take off dan landing di Bandara Adisutjipto.

Akses ke Candi Ijo

Dari Yogyakarta, jarak candi Ijo sekitar 28 km ke arah timur. Dengan menggunakan bus, bisa melalui rute menuju Candi Prambanan yaitu Trans-Jogja (1 A dan 1 B).



About Ijo Temple

Ijo Temple is, compared to the other temples in the Yogyakarta region, located at the highest altitude on a 410 meters high hill. The temple stands in Bukit Ijo, Sambirejo, Prambanan District, Yogyakarata. Candi Ijo is free to enter, simply fill in the guest book.

Ijo Temple was built in the 9th century on a hill which makes the surroundings of the temple very attractive too: the steep slope of the hill is covered with rice terraces (sawahs).
The complex consists of 17 buildings that are divided on 11 terraces, but only the buildings on the top terrace have been fully restored.
Buildings on the 11th terrace consist of a fence, eight phallus symbols, one main temple and three ancillary temples. You will encounter various forms of Hindu carvings on these temples, for example the double headed motives above the entrances of the temples. These motives can also be found on Buddhist temples since both religions were practiced at the same time in Indonesia. There are statues depicting women and men. The figures have several meanings, they can be a way to keep out evil spirits or be a symbol of unity of Siva and the Goddess Uma, symbolizing the beginning of the universe. The three ancillary temples are dedicated to the Hindu Trimurti, namely: Brahma, Shiva and Vishnu.
On the ninth terrace were two rocks found with inscriptions. The biggest one, about a meter tall has the the writing 'Guywan' which means 'Meditation', this stone is held in Jakarta National Museum. Another inscription is made in a smaller stone of 14 cm high and 9 cm wide, containing curse spells.
From temple Ijo you will have a stunning view of the surroundings, the city and when facing west and looking down you can see the planes take off and land at Yogyakarta's Adisutjipto airport.

Getting to Ijo Temple

From Yogyakarta the temple is located 28 km east of the city. By bus, get on the Trans-Jogja bus heading for Prambanan temple (1 A and 1 B).
Description: Candi Ijo, Yogyakarta, Indonesia Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Candi Ijo, Yogyakarta, Indonesia


Shares News - 03.57
Read More Add your Comment 0 komentar